Minggu, 26 Februari 2017

Memaafkan Kesalahan Orang Lain Ternyata Tak Semudah yang Orang Ucapkan

Memaafkan Kesalahan Orang Lain Ternyata Tak Semudah yang Orang Ucapkan

 Menajalin hubungan dengan orang lain terkadang tak mulus seperti yang kita harapkan, tak lain halnya dalam asmara ,ada masanya cinta berubah menjadi benci , namun semua itu bukan tanpa sebab dan akibat .Manusia di dunia ini tak ada yang sempurna ,khilaf dan lupa adalah hal yang lumrah .Begitupun kisah seorang pemuda dalam cerita ini . 4 tahun menjalin hubungan cinta namun akhirnya harus kandas di tengah jalan,pengorbanan waktu , tenaga , materi bak sia sia tanpa bekas sedikitpun. sampai selang beberapa bulan luka putus cinta masih kerap membayanginya . Ia selalu berusaha move on melupakan sang kekasih ,namun wajahnya selalu saja menggelayut dalam pikirannya . di tambah lagi beberapa kali harus bertatap muka dalam suatu acara rasanya gak nyaman banget, teringat luka, masa2 indah dan lainnya yang bercampur aduk . Namun yang pemuda selalu yakini adalah'' hari ini boleh berbuat kesalahan tapi jadikanlah itu pembelajaran ,dan berbuat baiklah lebih banyak dari kesalahan yang pernah terbuat,''  .Hari hari di laluinya dengan semangat ,semangat untuk lebih maju lebih sukses dari yang dulu. 
Namun layaknya manusia biasa di kala sepi melanda ia di hinggapi ingatan - ingatan masa lalu bersamanya yang terkadang ia terbesit dalam pikirannya untuk balas dendam mengingat pengorbanan  kepada sang kekasihnya dulu berujung sia - sia . Uang jutaan rupiah yang di korbankan kepadanya berbalas cacian dan makian . 
...........

Rabu, 11 Mei 2016

Tanpa Judul



Biarlah yang berlalu sirna
Bagaikan abu yang takkan pernah lagi menjadi kayu
Mungkin juga hati ketika telah rapuh
Hancur karena sakit hati yang terlalu
Rasanya sangat berat untuk berdiri tetapi akan ku coba kembali
Biarlah rasa sakit ini segera terobati 
 Ku ingin sembuh dari luka ini
Dengan datangnya cinta baru
Yang lebih engkau ridhoi
Mungkin selam ini aku terlalu hanyut cinta kepada makhluk
Sehingga semua teralihkan
Pikiran ku , kesibukanku
Hingga melupakan-Mu
Ampunilah aku
Izinkan lah ku kembali
Aku ingin hidup seratus tahun lagi
Cintakanlah aku pada makhluk yang lebih mencintai-Mu
Source Picture :  https://tarotsemanaljose.files.wordpress.com/2015/09/tarot-semanal-jose-energia-15.jpg

Sabtu, 07 Mei 2016

Sosok Ibu , Kuat dari luar rapuh dari dalam

Dia wanita hebat tak mengenal kata lelah 
Dia rela berjuang demi darah dagingnya
bahkan tak peduli lagi biar nyawapun yang jadi taruhannya 
Dia tulus begitu menyayangimu tanpa pamih 
sejak mengandung mu sembilan bulan hingga kau dewasa sekarang 
tapi seiring kedewasaan menghampirimu 
kau berbeda kepadanya 
Dia yang begitu polos 
Dia yang begitu sederhana 
Dia yang mungkin menurutmu kolot 
Kulitnya mulai keriput 
Pendengarannya mulai dungu tak setajam dulu 
Dia kau bodohi dengan dalih - dalihmu 
Dimana hanti nuranimu 
hilangkah semuanya 
sirnakah semuanya 
sejak gelar sarjana kau sandang 
kau mulai gamang 
untuk selalu patuh kepadanya 
untuk mendengarkan nasihat nasihatnya 
untuk mendengarkan keluh kesahnya 
Kau bilang tak ada waktuku bu 
Dia hanya diam 
Dia selalu berusaha tegar ketika di hadapanmu 
Walaupun dalam hati  pilu dengan sikapmu 
Begitulah sosok ibumu 
Acap kali memang ia berbohong dengan perasaannya 
Setinggi apapun jabatan kita 
sesungguhnya tak akan bisa menyamai derajadnya 
Sebesar apapun jasa kita 
sesungguhnya tak akan mampu membalas pengorbanannya 
Hendaknya kau tahu 
Ia sekarang masih ada di sampingmu 
esok hari siapa yang tahu

7 MEI 2016
Source Picture : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsPocotsvwyJg5LLZ9K3FHcVyRM9AzBXoL82hpaNnn6Oz4SEb69gzDpx_sWDhh8TND76RjWnO4NTzMEao7pUXDXTEVbBADksHpiqDEXjiJt9-D89LSDC7FuGhKoR-ZH1PGF_n6rsYA3jst/s1600/ibu.jpg

Kamis, 05 Mei 2016

Wahai Jiwa , kembalilah dalam keadaan suci

Hati  selalu ingkar 
ingkar akan kebenaran yang ada dalam kitab - Nya 
ada apa dengan hati kita 
bukankah kalam Alloh itu haq sedang kita yang penuh dusta 
sudah sepatutnya kita malu kepada- Nya
Kita selalu minta dan meminta 
tapi kita masih saja kurang berbakti kepada-Nya
Bermaksiat tanpa merasa berbuat dosa 
malah seakan bangga 
sudah keraskah hati kita 
Mengapa kita begitu sombng kepadanya 
Padahal kesombongan adalah selendang-Nya 
Haruskah dengan cambuknya baru kita sadar 
haruskah menunggu dengan datangnya murka-Nya 
Alangkah meruginya hidup kita 
jika hakikat hidup saja kita tak mengetahuinya 
Pernahkah kita bermuhasabah 
menghitung amal yang telah kita perbuat 
banyak kebaikan atau malah keburukan yang sering kita perbuat naudzubillah 
Berharap dan bergantung harapan 
hanya kepada Alloh SWT tuhan semesta alam 
Kepada siapa kita akan berpegang 
kepada siapa kita akan bergantung harapan kalau bukan kepada-Nya 
Dia maha pengasih 
Dia maha kuasa 
Kita hendaklah selalu mengingat-Nya 
dalam senang dan duka kita 
agar selamat di dunia dan akhirat
sebeleum penyesalan menghampiri 
sebelum belenggu hati menyelimuti 
sebelum lidah kita kaku untuk mengucap kata taubat 
sebelum semuanya terlambat 
karena kita semua akan kembali pada -Nya 

Kiai Ali Maksum dan Dinamisasi Teks-teks Klasik



Ketika bersantai bersama teman-teman guru dalam suatu obrolan seputar peran ulama, salah seorang dari mereka menyodorkan buku berjudul “Seratus Tokoh Islam Indonesia yang Paling Berpengaruh”. Penulisnya menempatkan KH Hasyim Asy’ari para posisi pertama, disusul kemudian berturut-turut tokoh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan proklamator kemerdekaan Ir Soekarno. Yang menarik ketika membuka daftar isi buku itu adalah tercantumnya nama Kiai Haji Ali Maksum pengasuh pondok pesantren Krapyak Jogjakarta.
Beliau adalah menantu KH Muhammad Moenawwir , pendiri pondok tersebut, seorang ulama Al-Qur’an yang memiliki reputasi hebat, yang mana dari tangan beliau lahir ulama’-ulama’ sekaliber KH Arwani Amin Kudus, KH Muntaha..
Sebagai salah satu lulusan krapyak tentunya secara pribadi bangga mana kala pengasuhnya “dianggap” sebagai sosok yang memiliki pengaruh. Tidak main-main pengaruh itu dalam skala nasional. Namun sesaat kemudian terlintas pikiran “nakal” yaitu pertanyaan” apakah betul bahwa kiai Ali Maksum ini benar-benar termasuk tokoh yang berpengaruh di Indonesia?
Apakah penulis buku ini benar-benar telah melakukan penilitian serius untuk sampai pada kesimpulan bahwa tokoh Kiai Krapyak ini layak menjadi salah satu dari seratus orang yang berpengaruh!! Apa parameter yang dipakai penulis itu dan apa pula bidang yang telah dipengaruhi oleh kiai Ali ini, sehingga pembaca haqqul yakin bahwa Kiai Ali Maksum ini layak mendapat tempat sebagai tokoh paling berpengaruh.
KH Ali Maksum adalah generasi kedua selevel dengan KH Wahid Hasyim. Beliau seorang putra dari ulama utara jawa tepatnya kota lasem Rembang jawa tengah yaitu KH Maksum. KH Maksum sendiri juga tercatat sebagai pendiri NU bersama para kiai Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah dan lainnya.
KH Ali beberapa tahun mondok di pesantren termas pacitan setelah sebelumnya belajar pada ayahnya sendiri. Studi beliau berlanjut ke makkah belajar dibawa asuhan ayah ataupun kakek sayyid Muahammad Al-Maliki. Menurut riwayat, Kiai Ali Maksum belajar dimakkah kurang lebih 2 tahun saja.
Selama menjadi pengasuh di Pesantren Krapyak, Kiai Ali juga dipercaya mengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Beliau pernah dipercaya menjadi team Lajnah Pentafsir Al-Qur’an. Adapun karir oraganisasi kiai Ali adalah menjabat Rais Aam NU periode 80an setelah Rais Aam KH Bisri Sansuri Jombang wafat. Pengukuhan kepemimpinan Kiai Ali ini ketika generasi pendiri NU wafat, padahal pada saat itu tokoh-tokoh NU yang kharismatik( bahkan) secara usia lebih senior dari beliau masih banyak, misalnya KH As’ad Samsul Arifin situbondo, dan KH Ali Mahrus Kediri.
Kiai Ali Maksum tidak diragukan tingkat keilmuannya. Beliau termasuk jenis ulama’ yang berangkat tidak dari bangku sekolah formal layaknya ulama’ sekarang. Justru intelektualitasnya beliau bangun dari pesantren.
Kiai Ali sudah kesohor sebagai calon ulama’ handal ketika belajar di Pesantren Termas. Saat itu beliau sudah mendapatkan julukan “Munjid” berjalan, kamus arab karangan non muslim. Beliau juga sedikit berbeda dari ulama’ kebanyakan. Beliau sangat gandrung terhadap logika dan ilmu mantiq. Diantara karya penting yang menjadi petunjuk bahwa kedepan beliau merupakan tokoh penting dan berpengaruh adalah bukunya yang berjudul “Mizanul Uqul fi Ilmil Mantiq” pertimbangan akal dalam ilmu mantiq. Hal inilah tidak mengherankan bila mana santrinya diajak membaca sebanyak-banyaknya kitab apapun dari madzhab apapun, seperti yang pernah dituturkan oleh KH Masdar Farid. Seorang peneliti Belanda Martin van Bruenesen mengklasifikasikan Kiai Ali sebagai kiai alim, sedangkan Kiai As’ad sebagai kiai kanuragan.


Dalam salah satu tulisan Gus Dur yang berjudul “Baik Belum Tentu Manfaat”, beliau menceritakan satu saat bertanya kepada Kiai Ali Maksum tentang belajar di pesantren sembari melakukan “puasa ngrowot” , yaitu puasa meninggalkan makan nasi dan lauk bernyawa semisal ikan, telur, digantikan sekedar makan ketela dan sejenis umbi-umbi lainnya selama belajar. Gus Dur menyatakan bahwa makanan itu tentunya jauh dari gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan berakibat lemahnya kemampuan santri selama mondok, namun mengapa dalam salah satu karya imam Al-Ghazali “laku” tersebut justru direkomendasinya selama proses belajar?
Kiai Ali menjawab bahwa “pendapat (Al-Ghazali) itu baik tapi belum tentu manfaat”. Di sini oleh Gus Dur, Kiai Ali dianggap mampu melakukan dinamisasi yang diperlukan terhadap teks-teks klasik. Kiai Ali memahami kebaikan pendapat tersebut namun belum tentu manfaatnya khususnya untuk masa sekarang.
Hal yang tak kalah penting yang mendorong pentingnya posisi beliau dalam pentas nasional adalah momentum estafet kepemimpinan NU pasca wafatnya kiai Bisri Sansuri. Saat itu NU dalam tarikan yang sangat kuat antara NU politik dan NU kultural. Munculnya kelompok Cipete dan kelompok Situbondo menunjukkan indikasi tarik-menarik kepentingan yang sangat kuat saat itu. Bilamana dulu NU salah memilih pucuk pimpinan pengganti Kiai Bisri mungkin saja wajah NU tidak seperti sekarang. Nama-nama seperti KH Ahmad Siddiq, Gus Dur mungkin saja tidak muncul.
Yang menarik, suara-suara pembaharuan dari generasi ketiga NU yang moderat seperti KH Mustofa Bisri, KH Masdar Farid, Gus Dur adalah santri beliau sendiri. Begitu pula suara-suara ulama’sepuh saat itu kompak tertuju pada kiai Ali bahwa beliaulah yang paling cocok mengawal pembaharuan dalam tubuh NU.
Sekarang NU sudah dikenal oleh semua termasuk masyarakat luar. Penelitian tentang NU semakin banyak. Pemerintah nyaman menjalankan roda pemerintahannnya karena dukungan NU terhadap NKRI. Memang semua itu sumbangsih terbesar adalah Gus dur KH Ahmad Siddiq. Namun beliau berdua bekerja mengangkat harkat NU karena back up Kiai Ali Maksum.
Muktamar krapyak 89 menjadi saksi betapa kuatnya dukungan Kiai Ali pada duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq-Gus Dur dari suara ketidakpuasan sebagian kiai terhadap sepak terjang Gus dur selama ini. Beliau yang mula-mula meredakan situasi internal NU. Beliau yang memberi ruang gerak bagi pikiran-pikiran segar bagi kebaikan NU. Pendek kata kiai Ali Maksum merupakan peletak dasar pikiran moderat NU yang sekarang ini merupakan mainstream NU secara umum.
oleh : Mohammad Yahya Alumnus Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Sumber : 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYJHIGb1AMnt6zfTN9xiugdXt1R6YB3dhxIOFpFI84tq5lr1sPSxO-IV5Fg72vvSN4E7aQVHY3yKUi5OeVfsBgT85vwFaGzd48pyZWQhy1shdTAeyullVLxIzQ3SQTRbJ66R-3MBMcE278/s1600/76029_163182520386826_116073001764445_298381_7085140_n.jpg
www.nu.or.id


Mengenal Kiai Hisyam Kalijaran Purbalingga


“Kiai Hisyam, pemimpin Pesantren Kalijaran, menerima kedatanganku di pendapa rumahnya. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan sinar matanya yang jernih, aku taksir usianya belum 50 tahun. Dengan mengenakan peci tarbus merah yang sudah lepas koncernya, dihiasi oleh jenggotnya yang tak begitu tebal, menimbulkan gambaran suatu wajah yang lucu, tetapi menyenangkan.”
Itulah sekilas gambaran tentang KH Hisyam Abdul Karim, seorang ulama yang terpandang di Purbalingga. Disamping ia adalah tokoh ulama yang ikut berjuang melawan penjajah, seperti dikisahkan oleh KH Syaifuddin Zuhri. Saat itu beliau bertamu ke pesantren Kalijaran di tengah perang kemerdekaan melawan Belanda (kisaran tahun 1940-1942) untuk mengadakan konsolidasi ke tokoh-tokoh setempat.
Tentang biografi KH Hisyam, salah seorang murid beliau, Kiai Syamsul Qodri (Banyumas) pernah menulis, “Ada sedikit catatan dalam Buku Harianku, bahwa beliau itu dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1909,” tulis Kiai Syamsul dalam blog pribadi miliknya.
“Ayah beliau bernama 'Abdul Kariem, Bau Desa Kalijaran dan Guru Rodad. Nama kecil beliau adalah Qosim, aku tahu nama ini ketika aku menyalin kitab-kitab Falak yang diserahkan kepadaku,” ungkapnya.
“Menurut Pak Jari, menantu beliau, bahwa Rama Kyai Hisyam pendidikan formalnya hanya sampai setingkat dengan SD. Di samping sekolah, beliau juga rajin ngaji kepada Ustadz di kampungnya. Kemudian beliau berguru kepada Kyai Dahlan di desa Kali wangi Mrébét. Di Pondok Leler Banyumas, beliau berguru kepada Kyai Zuhdi, dan di Pondok Jampes Kediri berguru kepada Kyai Dahlan. Secara khusus, dalam bidang qiroatul Qur'an, beliau berguru kepada Kyai Yusuf Buntet Cirebon, dan Kyai Nuh Pager Aji Cilongok. Dalam bidang Thoriqoh, beliau berguru kepada Kyai Rifa'i Sokaraja. Beliau menikah pada tahun 1927 dengan seorang gadis ber nama Rumiyah putri Carik desa Kalijaran,” tuturnya kembali.
Usai nyantri di berbagai pesantren, dengan restu sang guru, Syekh Dahlan Ihsan, KH Hisyam kemudian mendirikan Pondok Pesantren Sukawarah di Pedukuhan Sokawera, Desa Kalijaran, Karanganyar, Purbalingga. Pesantren Sukawarah Kalijaran yang diasuh Kiai Hisyam, ketika itu (pada masa perang kemerdekaan) menjadi semacam tempat pengkaderan para pejuang. Selain mengaji sebagian dari santri juga dibekali ilmu-ilmu lain seperti baris-berbaris, belajar huruf morse, dan juga belajar pertolongan pertama dalam kecelakaan. Mereka dilatih oleh kader pemuda Ansor setempat.
Tentang gambaran pesantren ini di zaman lampau pernah dikisahkan oleh KH Syaifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, “Suatu hari aku mengunjungi Pesantren Kalijaran Purbalingga. Sebuah Pesantren dengan lebih kurang 700 santri yang datang dari segala pelosok di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Pesantren itu terletak di pegunungan, jauh dari kota. Tak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren itu, bersepeda pun amat susahnya, karena harus menyeberangi sungai yang deras airnya, penuh dengan batu kali pada tebing-tebingnya. Aku sangat letih berjalan kaki sejauh 12 Km dari kota distrik Bobotsari, tempat pemberhentian bis terakhir.”
Pada perkembangannya Pondok Kalijaran berkembang pesat. Sekitar tahun 1969 di sana sudah dibangun MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri). Sebuah Nama sekolah yang cukup berwibawa didengar waktu itu. Sebab, di Jawa Tengah baru ada dua Tsanawiyah Negeri. Di Babakan Tegal dan Karanganyar Purbalingga. Pondok ini sekarang diasuh oleh KH Muzammil dan KH Musta'id Billah, dan santrinya berjumlah ribuan.

KH Hisyam selain menjadi pengasuh pesantren, juga aktif di NU. Dirinya tercatat pernah menjabat sebagai Rois Syuriah PCNU Purbalingga selama tiga periode 1973-1975, 1975-1978, dan 1978-1983. Kiai Hisyam wafat pada Hari Kamis Kliwon 4 Jumadil Akhir 1410 H, bertepatan 12 Januari 1989 M. (Ajie Najmuddin)
Sumber : Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, 1974 dan Blog Kiai Syamsul Qodri
 Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGzlarDLcZijAu63JzMLSHugg6bMCqtZdkplLQcJ2dDznYfMP5CtBuLyBXwm_EsK_wu4vLg7uhWhW_G5RSm_bUceA2R4rgEN7NoqqA7jfjyMXUxTLmF6Z0SKZTWFp9c1BUSbsCBERJySBh/s320/a.jpg

Belajar dari KH Muntaha Al-Hafizh




Di antara deretan ulama di tanah air, nama KH Muntaha Al-Hafizh tentulah bukan nama yang asing. Ia adalah sosok di balik megahnya bangunanan Pondok Pesantren, sekolah SMA dan SMP Takhassus Al-Qur`an serta UNSIQ, Wonosobo, Jawa Tengah, yang sebelumnya bernama IIQ, sewaktu ia masih menjabat sebagai Rektor.
KH Muntaha Al-Hafidz lahir sekitar tahun 1910M di Kalibeber, Wonosobo. Ia adalah ulama Multidimensi yang mempunyai segudang ide dan pemikiran cemerlang yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi ulama lainnya.
Pertama, Ide Pendidikan. Dalam dunia pendidikan KH. Muntaha Al-Hafidz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Asy`ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai jenjang pendidikan antara lain, Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, 'Ulya dan Madrasah Salafiayah Al-Asy`ariyyah, SMP dan SMU Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur`an, Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an (YPIIQ) namun cikal bakalnya Pesantren Al Asy'ariyah. YPIIQ sendiri sebelumnya telah mendirikan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) JawaTengah sebagai embrio dari UNSIQ. KH. Muntaha Al-Hafidz juga menjadi salah seorang pendiri bahkan memegang jabatan Rektor pada saat Perguruan Tinggi ini sebelum berubah menjadi universitas adalah merupakan bukti implementasi dari ide dan pemikirannya.
Implementasi dari ide dan pemikirannya di bidang pendidikan diwujudkan dengan memadukan antara pesantren yang notabene merupakan pendidikan non formal dan pendidikan formal sejak dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Kedua, Ide Tentang Dakwah dan Sosial. Dalam bidang dakwah, dibentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah untuk aktifitas santri Pondok Pesantren Al-Asy`ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat dalam bentuk pengabdian dan kepedulian pondok pesantren terhadap kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan. Adapun aktifitasnya, meliputi: bacaan shalawat, Qira'atul Qur'an, khitobah dengan menggunakan empat bahasa, yakni: bahasa Inggris,Arab dan bahasa Indonesia serta bahasa Jawa, juga Qosidah dan rebana yang merupakan kesenian bernuansa islami. Dalam bidang sosial, ia juga merintis berdirinya Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) bersama dengan Adi Sasono KH. MA. Sahal Mahfudz.
Ketiga, Ide Tentang kesehatan. Dalam bidang kesehatan, implementasi dari ide dan pemikirannya diwujudkan dalam pendirian balai pengobatan dan pendirian Pendidikan Akademi Keperawatan (AKPER). Akper ini sekarang berada di lingkungan Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ) Wonosobo, Jawa Tengah. Karenanya institusi ini diberi nama AKPER UNSIQ. Selain itu, dibentuk Poliklinik Maryam. Poliklinik ini tidak hanya melayani santri dan mahasiswa saja, akan tetapi juga melayani masyarakat umum di sekitar poliklinik bahkan sering pula masyarakat dari daerah atau kecamatan lain yang memeriksakan kesehatannya di Poliklinik Maryam ini. Bahkan sebelumnya, ia telah merintis dan mendirikan Balai Kesehatan di Tieng, Kejajar, pada tahun 1986, yang disusul pula dengan pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) Kabupaten Wonosobo.
Keempat Ide Tentang Pemikiran Islam, Ia juga tidak ketinggalan dalam memberikan ide dan pemikiran di bidang pemikiran Islam. Dalam bidang ini, ia membentuk "tim sembilan" untuk menyusn tafsil Al-Maudhu`i.
Dalam rangka menghadapi era globalisasi, KH. Muntaha Al-Hafidz memiliki ide dan pemikiran tentang perlunya penguasan bahasa, yakni tidak hanya bahasa Indonesia dan bahasa Arab saja, melainkan juga bahasa Inggris, Cina, Jepang, dan lain-lain bagi para santri Al-Asy`ariyyah untuk bisa menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur`an kepada masyarakat luas (internasional). Dan ide ini telah dipraktekan di Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, juga di SLTP, SMU, dan SMK Takhassus Al-Qur'an, termasuk di dalamnya Universitas Sains Al-Qur`an.
Implementasi dalam bidang seni, terutama seni kaligrafi ia wujudkan dalam tulisan "Mushaf Al-Asy`ariyyah" (Al-Qur'an Akbar). Al-Qur'an ini memang berukuran besar, bahkan pada waktu dipublikasikan Al-Qur'an ini tercatat paling besar di dunia. Ukuran mushafnya 2 x 15 m pada saat kondisi tertutup dan berukuran 2 x 3 m dalam kondisi terbuka. KH. Muntaha Al-Hafidz adalah tokoh dan figur pemimpin yang patut untuk menjadi teladan. Aktifiatas, ide, dan pemikirannya selalu berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng sedemikian rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang heterogin dan berbeda kondisi sosialnya.
Keseluruhan hidup Mbah Muntaha telah diabdikan untuk pencerahan dan pembebasan umat, baik melalui wadah pesantren yang ia warisi dari orang tuanya (KH. Asyari), maupun melalui Jami'iyyah NU yang telah dipilih sebagai medium perjuangannya. Di zaman kemerdekaan, perjuangan Mbah Muntaha selalu mengikuti ritme perjuangan NU. Di samping berjuang memanggul senjata dengan bergabung sebagai Laskar Hizbullah dan memimpin BMT (Barisan Muslimin Temanggung) sebuah laskar kerakyatan yang turut berjuang membela kemerdekaan. Ia juga aktif mengikuti gerakan NU.
Sewaktu NU melalui muktamarnya di Palembang memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik sendiri, sebagai akibat dari tindakan para politisi Masyumi yang berasal dari kalangan non pesantren terlalu meremehkan peran politisi dari pesantren. Ia pun terlihat aktif dalam memperjuangkan NU untuk berkiprah di masyarakat bahkan sempat ditunjuk menjadi anggota Konstituante mewakili NU Jawa Tengah sampai dibubarkannya majlis itu pada tanggal 5 Juli 1959. Kondisi itu itu terus berlangsung hingga tahun 1972 saat pemerintah orde baru menetapkan bahwa partai Islam harus berfusi dalam satu wadah partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sebagai konsekuensi dari sikap NU yang harus mengikuti peraturan pemerintah walalupun secara politik sangat merugikan NU, Mbah Mun pun ikut terlibat aktif dalam Parta Persatuan Pembangunan. Kondisi itu berlangsung hingga dicanangkannya kembali ke Khittoh 1926.
Setelah sekian tahun bergulat dalam tandusnya lahan politik praktis, Mbah Mun kembali melirik kondisi pesantrennya yang terlihat belum begitu tampak kemajuannya. Kemudian Ia memilih untuk berpolitik secara substansial yaitu menggunakan jalur politik dengan tujuan membawa kemaslahatan umat yang lebih banyak. Dari perubahan sikapnya itu kemudian Ia menata pesantrennya dengan membenahi pola pengajarannya. Bahkan kemudian mendirikan dua sekolahan yaitu SMP dan SMA Takhassus Al-Qur'an yang berafiliasi kepada penajaman pemahaman Al-Qur'an bahkan pada gilirannya mendirikan Institut Ilmu Al-Qur'an sebagai wadah penggodokan sarjana Al-Qur'an yang mampu dalam pemahaman Ilmu Al-Qur'an dan umum. Dalam kaitan ini pula Mbah Mun tak kenal lelah meyakinkan berbagai pihak akan pentingnya pembenahan NU, mengingat posisinya yang strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Puncaknya Ia menghadiri Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang diantaranya, memutuskan kembali ke Khittoh 1926. Fanatisme Mbah Mun terhadap NU ini dapat dipahami mengingat latar belakang Ia sebagai orang pesantren yang senantiasa memelihara ajaran pendahulunya dan perjuangan Ia dalam berbangsa dan bernegara melalui wadah NU.
Satu hal yang mungkin belum banyak terekam dalam sejumlah tulisan tentang Mbah Mun adalah tulisan (risalah) yang ditulis oleh Ia atau manuskrip serta gagasan dalam bentuk tulisan yang Ia sendiri turut memberikan sumbangan pemikirannya, belum banyak dipublikasikan. Padahal sebagai seorang Kyai yang multidimensi, termasuk kepiawaian Ia berbicara di depan orang banyak sebagai seorang orator dan mampu menghanyutkan pendengar ke arah isi pidatonya dengan disertai ilmu balaghohnya banyak disenangi oleh pendengar, serta jabatan yang Ia sandang baik formal maupun non formal, banyak tulisan Ia yang menunjukkan kepiawaian Ia dalam menyampaikan gagasan pikirannya, atau sekedar menyampaikan pesan kepada umatnya. Atau terkadang Ia menyuruh seseorang untuk menyusun suatu tulisan dengan yang dikehendaki Ia, dan terkadang Ia merestui suatu gagasan yang telah tersusun dalam bentuk buku yang memang sesuai dengan gagasan Ia, sebagai penghormatan karya dari orang tersebut serta sebagai dorongan untuk terus berkarya.
Hal ini hampir sama dalam khazanah kepustakaan Islam, misalnya gagasan seorang alim yang tertuang dalam bentuk tulisan Kitab Klasik (kuning) terkadang bukan dari tulisan tangannya sendiri, bahkan ditulis dari muridnya atau orang yang sengaja disuruh untuk menuliskannya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Mbah Mun ini bisa menjadi konvensi bagi para Kyai maupun santri di daerah yang pesantrennya hendak eksis, bahwa di samping menguasai ilmu-ilmu keislaman dan juga ilmu umum, yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dituntut pula untuk trampil menyampaikan suatu gagasan lewat tulisan.
Ahmad Muzan
Direktur Islamic Homeschooling dan Sekolah Alternatif Fatanugraha Wonosobo
Sumber :  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmLCVrjMV3XZ_2Hy-MkTyBzGg6E94EJiIiGHjGTfkF7-YD528LstRoB27qn70-aSgjqzXQ5rjPKHXyTLXGkHWoJG4n4Caw_0ZSouUvN6a7nh10N7rJ3gWioxDxD3giPBjX1Cvx5sohr_wh/s1600/Almukarom+KH.+Muntaha.jpg
www.nu.or.id